Sabtu, 24 Oktober 2009

novel


CHAPTER 9:
SEPENGGAL KENANGAN EDELWEISS


Ada dua hati nan membisu
tanpa kata
tanpa sapa

Edelweiss hanya saksi sunyi
dalam giris lagu hati
kala airmata kita menitik
bagai landung embun di pucuk cinta

— Edelweiss Cinta Kita

***

Denpasar tujuh pagi.
Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan.
Saya lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap gugu. Perjalanan ini merupakan pertemuan terakhir saya dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Regina Pacis.
"Wong, mampir-mampir ke rumah ya?" Yanthi menjabat tangan saya.
"Jangan lupain Lina ya Wong kalau sudah di negeri orang!" Herlina berteriak dari dalam bis.
"Awas lho Wong, kalau tidak mampir ke rumah saat pulang ke Jakarta!" teriak Viona Rosalina menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias. "Sering-sering SMS, ya?"
Saya mengangguk.
Langkah saya memberat ketika Asep Suparman sudah mendesak agar segera berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam berarti saya harus ketinggalan pesawat.
Pagi itu semuanya seperti membisu.
Saya melambai, namun masih mematung di samping taksi yang akan mengantar saya ke bandara. Entah, keengganan seperti menjerat tubuh saya dalam ketidakrelaan berpisah. Kenangan kami demikian kental sehingga memenjarakan saya dalam ketersimaan. Saya seperti tidak percaya. Dalam hitungan detik, kami sudah harus berpisah!
Di halaman hotel, bis pun sudah siap mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Saya tidak ikut pulang ke Jakarta, karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.
Saya lihat Nita masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa tanda pamit. Saya hanya lihat matanya yang membasah. Saya tahu dia sedih. Sedih sekali. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.
"Wong, jaga diri baik-baik!" teriaknya akhirnya dengan suara parau.
Saya mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi saya cepat-cepat berbalik, lalu masuk dan duduk ke dalam taksi.
Perjalanan dan singkat hari-hari kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam taksi yang melaju kencang menuju bandara, saya sudah tidak kuasa menahan airmata yang menyeruak. Barangkali saya terlalu cengeng dengan akhir euforia ini. Barangkali juga saya telah jatuh hati kepada Nita.
Ah, entah kapan saya dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu lagi. ©


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar